Rabu, 16 Januari 2013

Terkesan Dengan Kisah Cinta Habibie & Ainun


Kisah yang sangat indah, kisah dimana 2 (dua) sepasang anak manusia yang telah dipertemukan di muka bumi ini. Memaknai arti hidup, perjuangan, kerja keras, dan kesabaran 2 (dua) sosok manusia yang dipertautkan oleh perasaan yang abadi dalam bingkai kebersamaan.

Dalam buku Habibie&Ainun, mantan Presiden RI Bacharuddin Jusuf Habibie mengisahkan awal pertemuan dengan istrinya, almarhumah Hasri Ainun Habibie. Sepulang studi di Jerman Barat selama tujuh tahun, Habibie memberanikan diri mendekati Ainun yang mantan adik kelasnya di SMA-Kristen, Bandung.
Dalam pertemuan itu Habibie tak menyangka Ainun telah menjadi dokter berparas cantik. Padahal, saat sama-sama masih duduk di bangku SMA, Habibie kerap mengolok Ainun yang gemuk dan hitam.

"Saya tak menyangka bertemu dengan Ainun, reaksi spontan saya, 'Ainun kamu cantik, dari gula jawa menjadi gula pasir!" tutur Habibie dalam buku karangannya itu.
Diakui lulusan teknik mesin, Institut Teknologi Bandung ini, ejekan demi ejekan yang dilontarkannya kepada Ainun pada masa itu karena guru-guru di SMA mereka seringkali menjodohkan keduanya. Ainun dikenal sebagai siswi yang pintar ilmu pasti, begitu pula dengan Habibie.

"Yang menyinggung perasaan saya adalah terlalu sering diucapkan oleh guru di dalam kelas Ainun dan kelas saya bahwa saya dan Ainun pantas kelak menjadi suami isteri, sehingga keturunan kami menjadi pintar-pintar. Reaksi kami malu dan kawan-kawan saya sering membuat komentar tambahan yang menyinggung perasaan," ucapnya.
Kala itu, malam takbiran, Rabu, 7 Maret 1962, pertemuan pertama setelah tujuh tahun lamanya ternyata menjadi kenangan manis sepanjang masa bagi Habibie. Mata Habibie terpaku pada sosok Ainun yang telah berubah drastis menjadi sosok wanita ayu dan terpelajar.

Habibie tak pernah gentar walaupun kawan-kawannya selalu mengejek ketidakpantasannya bersanding dengan Ainun. Dikatakan kawan-kawannya saat itu, Habibie tak akan mampu bersaing dengan lelaki yang sudah lebih dulu mengincar Ainun, seorang anak dari tokoh terkemuka, berpendidikan lebih tinggi, tampan dan berada.
"Jikalau memang Ainun ditakdirkan untuk saya dan saya untuk Ainun, maka Insya allah Ainun akan menjadi isteri saya dan saya menjadi suami Ainun," tegasnya.
Maka, saat Hari Raya Idul Fitri, Habibie mengunjungi rumah Ainun bersama keluarganya. Pada hari itu pula, dia menyatakan perasaannya pada Ainun saat berjalan kaki menuju kampus ITB melewati bekas sekolah mereka berdua di Jalan Dago, Bandung.
"Tanpa kami sadari waktu begitu cepat berlalu dan kami berdua berpegangan tangan hingga tiba kembali ke rumah Ainun," kisahnya.

Singkat cerita, akhirnya 2 (dua) anak manusia ini sering bertemu hingga keduanya memberanikan diri untuk maju dan mengikrarkan Cinta suci mereka. Kedua Keluarga Habibie dan Ainun larut dalam suka cita yang begitu dalam, hingga kedua Keluarga tersebut mesti mulai belajar meretas kerinduan dengan melepaskan kedua pasangan ini ke Jerman. Ainun sendiri mesti mengorbankan pekerjaan medis yang selama ini digelutinya di RS UI dan ikut menemani Habibie untuk merajut mimpi dan cita bersama bagi keluarga kecilnya dan untuk Bangsa dan Negaranya kelak. Satu hal yang tak pernah disesali Ainun ketika itu, karena baginya kewajiban istri mengurusi segala keperluan suaminya.

Di awal pertama kehidupan Habibie dan Ainun di Jerman sangat serba berkecukupan, terkadang Habibie mesti lembur hingga larut malam untuk menambah penghasilannya. Ainun pun mulai belajar berhemat dan sesekali membuat baju ganti bagi suami dan dirinya sendiri untuk mengurangi beban hidup. Terkadang pula Habibie mesti berjalan kaki ketimbang naik bus untuk menghemat biaya transportasi, dan itu dilakukannya bukan hanya sekali dua kali, terkadang berjalan di tengah timbunan salju yang menutupi jalan hingga sepatu yang digunakannya kerapkali robek dan diperbaiki oleh Ainun.

Habibie yang sering pulang larut malam dikarenakan mesti lembur untuk mencukupi penghasilan rumah tangganya (terutama untuk biaya asuransi Ainun di Jerman). Hal itu tidaklah membuat Habibie letih dan berkeluh kesah apalagi menyerah akan cobaan yang dihadapinya, ia malah tambah bersemangat ketika Habibie pulang kerumah dan disambut sebuah senyuman oleh Ainun, bagi Habibie sendiri senyuman itulah yang terkadang membuatnya tenang, tegar, dan damai dalam mengahadapi hidup ini. Ditambah lagi Ainun tak pernah sedikitpun merasa curiga terhadap suaminya, karena komunikasi dan kepercayaan memang mereka bangun dari awal serta keterbukaan dalam mengambil sebuah pilihan.

Seiring berjalannya waktu, kehidupan mereka mulai membaik. Habibie dan Ainun dikaruniai 2 (dua) orang putra bernama Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie. Prestasi Habibie mulai diperhitungkan di dunia penerbangan khususnya di Jerman, hingga akhirnya tersiar ke penjuru bumi ini. Banyak negara mulai mengajukan tawaran kerjasama untuk menggunakan ide dan konsepnya, tak terkecuali Indonesia pada saat itu dipimpin oleh Soeharto menginginkan Habibie segera pulang kampung dan memperbaiki negaranya. Melalui Direktur PT. Pertamina DR. Ibnu Sutowo, Habibie diajak untuk kembali dan memberikan sebuah karya bagi Bangsanya. Hingga pada tahun 1974 Habibie kembali dari rantauannya di Jerman, dan menepati janjinya kepada Presiden Soeharto untuk kembali dan berkarya bagi Bangsa dan Negaranya. Pada tahun 1995 Habibie dan para teknokrat muda yang ikut membantu Habibie pada waktu itu berhasil menghadirkan teknologi canggih pesawat terbang di ulang tahun ke-50 HUT Republik Indonesia dengan nama N250-Gatotkaca.

Ditahun 2010, 12 tahun pasca reformasi dan lengsernya Presiden Soeharto kala itu dan digantikan oleh wakilnya yakni Habibie sendiri. Tak lama berselang Habibie pun juga mesti beranjak dari kursi kekuasaannya dan digantikan oleh Gusdur.

Masa-masa kebersamaan Habibie dan Ainun semakin lekat, namun pada akhirnya mesti dipisahkan oleh sebuah ketetapan alam. Hingga akhirnya tepat pada pukul 17.30 waktu Muenchen tanggal 22 Mei 2010, hari itu menandai 48 tahun 10 hari waktu yang telah mereka lalui bersama dengan suka cita bersama. Setelah melewati proses penyembuhan dan operasi yang terus berulang selama tahun 2010, roh Ainun akhirnya dipanggil oleh Sang Pencipta dan berpulang ke Rahmatullah serta meninggalkan jasadnya dipelukan dan kucuran air mata yang tak tertahankan dari pasangan hidupnya. Sang teknokrat itupun merasa kehilangan separuh jiwanya, yang meninggalkan dirinya ke tempat dimensi yang lain. Bagi Habibie cintanya kepada Ainun adalah Manunggal, dipatri oleh cinta yang murni, suci, sempurna dan abadi.


… kami berdua suami-isteri dapat menghayati pikiran dan perasaan
masing-masing tanpa bicara. Malah antara kami berdua terbentuk
komunikasi tanpa bicara, semacam telepati…
… saya bahagia malam-malam hari berdua di kamar: dia sibuk diantara
Kertas-kertasnya yang berserakan di tempat tidur, saya menjahit, membaca
Atau berbuat yang lainnya. Saya terharu melihat ia pun banyak membantu
Tanpa diminta: mencuci piring, mencuci popok bayi yang ada isinya…
(Hasri Ainun Habibie)
… terimakasih Allah, Engkau telah menjadikan Ainun dan Saya
Manunggal Jiwa, Roh, Bathin, dan Hati Nurani kami melekat pada Diri Kami
Sepanjang masa dimanapun Kami berada…
(Doa B.J. Habibie)


Sumber:
http://sosok.kompasiana.com/2012/12/16/belajar-filosofi-cinta-habibie-dan-ainun-516496.html
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/191483-awal-kisah-cinta-abadi-habibie-ainun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar